Menu

Monday, 15 October 2018

2019 Ganti Lawakan ?

2019 menjadi tahun yang akan menarik dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Hal ini bukan hanya karena adanya kontestasi politik serentak di berbagai ranah namun juga karena akan banyak bermunculan expert politik dadakan yang fanatik terhadap kandidat tertentu. Mari awali cerita ini dengan kelucuan para kandidat yang akan menempuh cara yang sedemikian lucu untuk menarik perhatian massa sebanyak-banyaknya. Salah satu jurus paling lucu dari kandidat yang akan berkontestasi adalah jurus keluarga dadakan, memang terdengar lucu tapi begitulah adanya. Dalam beberapa bulan ke depan kita akan sering menjumpai kandidat yang tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba mengproklamirkan dirinya sebagai keluarga atau kerabat, dan mau tidak mau kita harus membantunya untuk mencapai singgasana jabatan agar nantinya ada keluarga atau kebarat kita yang duduk di kursi pemerintahan, sehingga jika ada kebutuhan kita tidak lagi pusing memikirkan kemana kita akan meminta bantuan. Jurus Pamungkas yang lain adalah jurus meningkatkan sensibilitas dari para kandidat, menjabarkan masalah-malasah fundamental khususnya kemiskinan dan mengklaim dirinya sebagai solusi dari permasalahan itu. Tidak ada yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah negatif sebab sudah menjadi tugas bagi manusia yang sadar dan berakal untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Namun ada hal yang mengganjal dari melonjaknya sensibilitas kandidat ini, salah satu yang paling mainstream adalah senbilitas ini hanya ada di awal-awal menjelang kontestasi berlangsung, sehingga setelah kontestasi berakhir dan sang pemenang ditemukan sensibilitas ini menurun drastis dan menukik tajam hingga tak ada lagi orang yang peka terhadap masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. Sensibilitas kandidat ini sangat cocok dengan prasa "hot-hot chicken shit". 
Di ajang kontestasi yang lebih prestisius sekelas Pilpres, kelucuan hadir bukan hanya dari kandidat tetapi juga dari debat kusir tanpa parameter tanpa topik dan tanpa batasan yang jelas dari orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pendukung salah satu kandidat. untuk kalian yang suka atau merasa terhibur oleh pertikaian yang "autis", anda bisa login ke facebook scrool down beranda dan akan anda temukan debat kusir bin bahlul mengenai siapa kandidat yang pantas untuk dipilih.  Sebenarnya tidak ada masalah dengan perdebatan apalagi diskusi, sebab itu adalah proses dialektika dimana tesis dan anti tesis dipertemukan untuk menemukan sistesis, tapi masalahnya tesis dan anti tesis yang disajikan sangat tidak "debatable" dan banyak diantaranya memperdebatkan sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kriteria dalam memilih calon. Teknik promosi pada dasarnya adalah memperkenalkan kelebihan dari jualan yang kita bawakan sehingga orang lain tertarik untuk membeli jualan yang kita promosikan tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya, teknik promosi yang populer saat ini bukan menunjukkan kelebihan jualan yang dimiliki tetapi mempertontonkan keburukan jualan pihak lain. hal ini bukannya menciptakan ketertarikan konsumen terhadap jualan kita tetapi malah mengurangi opsi sehingga pilihan tidak didasarkan pada ketertarikan konsumen akan jualan kita tetapi berdasar pada ketidakberdayaannya terhadap pilihan yang kita buat. Kontestasi dengan teknik promosi yang seperti ini hanya akan menhasilkan calon yang tidak lebih buruk dari yang terburuk bukannya yang terbaik dari yang terbaik. Teknik promosi seperti menyebar kebohongan atau hoax dan menciptakan kebencian malah menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Perpecahan yang diakibatkan juga sangat sulit untuk dirajut kembali, hasilnya hingga kontestasi berakhir perpecahan masih ada didalam masyarakat. Sangat jarang kita temui perdebatan substansial mengenai mengapa kita harus memilih kandidat ini, seperti apa kapabilitas dari kandidat untuk memegang tanggung jawab tersebut dan bagaimana kandidat yang dipromosikan lebih baik dari segi kriteria kepemimpinan bukan lebih baik karena tidak lebih buruk dari kandidat lain. 
Di ajang kontestasi seserius dan sesubstansial ini, kandidat dan pendukung lebih banyak menunjukkan kelucuan dan disabilitas berpikirnya masing-masing. Kalau terus-terusan seperti ini, maka kontestasi politik tidak lebih dari kontestasi adu lucu yang nantinya hanya akan menghasilkan badut-badut penghibur. Badut yang nantinya malah melawak dan menjadi tontonan publik dimana tidak sedikit pertunjukan lawaknya berakhir dalam balutan rompi orens KPK. Tapi mari berhenti berburuk sangka sebeb berburuk sangka itu dosa. Mari kita sama-sama percaya bahwa kontestasi yang lucu ini tetap berpeluang menghasilkan figur yang mampu bertanggung jawab, kita harus yakin dan tetap menaruh harapan agar kekecewaan yang ditimbulkan nantinya bisa lebih sakit.

No comments:

Post a Comment